Opini
Home » Berita » Metode Ilmiah, Dialektika, dan Ketahanan Pangan Indonesia

Metode Ilmiah, Dialektika, dan Ketahanan Pangan Indonesia


Oleh: Ainur Rofiq

Ilmu pengetahuan selalu tumbuh dari interaksi manusia dengan kenyataan yang dihadapinya. Realitas yang tampak sehari-hari bukanlah sesuatu yang netral dan statis, melainkan pemicu lahirnya pertanyaan, refleksi, serta upaya untuk memberi makna. Pertanyaan-pertanyaan itu lalu memunculkan gagasan teoritik, yang menjelma menjadi hipotesis serta kerangka solusi. Namun proses itu tidak pernah berhenti pada ranah ide belaka. Setiap hipotesis, sebagaimana menuntut metode ilmiah, harus diuji dalam praktik, dan implementasi praktis akan melahirkan fakta-fakta baru yang kadang sejalan, kadang justru bertolak belakang dengan harapan awal. Inilah dinamika metode ilmiah: sebuah siklus yang tiada henti antara fakta, teori, implementasi, dan lahirnya fakta baru yang kemudian menantang teori lama.
Karl Popper (1902–1994) dengan tajam mengingatkan bahwa inti metode ilmiah bukanlah pembuktian mutlak, melainkan falsifikasi. Menurut Popper, sebuah teori tidak pernah benar secara absolut; ia hanya “belum terbantahkan” oleh fakta. Artinya, setiap hipotesis merupakan tesis sementara yang sewaktu-waktu bisa gugur jika realitas menunjukkan sebaliknya. Dari sana lahir kerangka baru, yang pada gilirannya juga menunggu untuk diuji. Dengan kata lain, ilmu bersifat terbuka, dinamis, dan selalu siap dikoreksi.
Thomas Kuhn (1922–1996) menambahkan sudut pandang berbeda. Bagi Kuhn, perkembangan ilmu tidak selalu bergerak secara linier atau akumulatif. Ada masa-masa krisis ketika teori lama tidak mampu menjelaskan anomali baru. Saat itu terjadi, ilmu pengetahuan mengalami paradigm shift sebuah pergeseran paradigma yang menggantikan kerangka lama dengan kerangka baru yang lebih sesuai dengan kenyataan. Krisis adalah pemicu lahirnya revolusi dalam ilmu.
Lebih jauh ke belakang, G.W.F. Hegel (1770–1831) telah menekankan dialektika sebagai cara kerja sejarah maupun pemikiran. Dialektika bergerak melalui pola tesis–antitesis–sintesis sebuah ide atau kenyataan awal (tesis) melahirkan kontradiksi atau perlawanan (antitesis), lalu keduanya disintesiskan dalam kerangka baru yang lebih kaya. Namun sintesis itu tidak pernah final, sebab ia akan kembali menjadi tesis baru yang suatu saat melahirkan antitesis berikutnya. Proses ini tak pernah berhenti.
Jika tiga perspektif filsafat ilmu itu dipakai sebagai lensa, maka problem pangan di Indonesia tampil sebagai laboratorium hidup di mana metode ilmiah bekerja dalam skala sosial. Pertanian kita adalah ruang di mana fakta-fakta baru terus muncul: gagal panen akibat banjir dan kekeringan, berkurangnya lahan subur karena alih fungsi, migrasi tenaga kerja muda dari desa ke kota, hingga perubahan pola konsumsi akibat globalisasi. Setiap fakta itu menuntut respons, melahirkan teori-teori baru, kebijakan, maupun inovasi teknologi. Tetapi, sebagaimana ditekankan Popper, teori hanya bertahan selama belum disanggah oleh realitas. Fakta lapangan kerap kali menunjukkan hasil berbeda dari rencana, sehingga teori harus direvisi.

Fakta Awal tentang Ketergantungan pada Beras
Salah satu fakta paling mendasar dalam sejarah pangan Indonesia adalah ketergantungan hampir total pada beras. Data Badan Pangan Nasional mencatat lebih dari 90 persen penduduk Indonesia menempatkan beras sebagai sumber karbohidrat utama. Nasi bukan sekadar makanan, tetapi simbol identitas. Ada ungkapan populer: “belum makan kalau belum makan nasi,” yang menggambarkan kuatnya budaya beras dalam kesadaran masyarakat.
Padahal, sejarah Nusantara menunjukkan keragaman pangan lokal yang sangat kaya. Masyarakat Papua dan Maluku mengenal sagu sebagai pangan utama. Nusa Tenggara lama bertumpu pada jagung. Singkong menjadi sumber karbohidrat di sebagian besar Jawa, sementara talas dan umbi-umbian lain menyebar di berbagai wilayah. Fakta sejarah ini menunjukkan bahwa ketergantungan tunggal pada beras bukanlah sesuatu yang niscaya, melainkan konstruksi sosial-ekonomi yang lahir dari kebijakan politik pangan modern.
Risiko dari ketergantungan ini sangat besar. Krisis beras, sekecil apa pun, segera memicu gejolak sosial dan politik. Harga beras naik sedikit saja, protes bermunculan, bahkan bisa menggoyahkan legitimasi pemerintah. Di sinilah lahir antitesis berupa gagasan diversifikasi pangan. Sejak Orde Baru, pemerintah berulang kali menyerukan pentingnya kembali pada pangan lokal. Program penganekaragaman pangan digagas, teori ketahanan pangan berkelanjutan dikembangkan.
Namun implementasi tidak semudah itu. Pada 1970–1980-an, misalnya, pemerintah menggalakkan konsumsi jagung dan singkong, bahkan mencoba mencampurkan tepung gaplek ke dalam beras analog. Hasilnya justru resistensi masyarakat. Identitas “nasi” sudah terlalu kuat, sehingga mengganti dengan jagung atau singkong dianggap “belum makan.” Dari sini lahir fakta baru: diversifikasi sulit diterapkan bila hanya digerakkan dari atas tanpa mengubah pola konsumsi dan budaya masyarakat. Teori diversifikasi pun terfalsifikasi oleh realitas, persis seperti prediksi Popper.

Hipotesis Baru tentang Beras Analog dan Teknologi
Menghadapi kegagalan itu, muncul hipotesis baru: jika masyarakat enggan meninggalkan nasi, maka pangan alternatif sebaiknya dihadirkan dalam bentuk yang menyerupai nasi. Dari ide inilah riset tentang beras analog berkembang. Singkong, jagung, sagu, hingga sukun diolah menjadi butiran mirip beras, dimasak seperti nasi, dan diharapkan lebih mudah diterima.
Hipotesis ini mencerminkan penggunaan metode ilmiah dalam kebijakan: masalah diidentifikasi, hipotesis dirumuskan, lalu diuji melalui implementasi. Uji coba beras analog memang menghasilkan penerimaan sebagian masyarakat. Namun sebagian lain tetap menolak, karena tekstur dan rasa berbeda dari nasi asli. Lagi-lagi, realitas menguji teori, dan hasilnya beragam. Ini mengingatkan pada Kuhn: dominasi paradigma lama (beras) sangat kuat, sehingga pergeseran hanya mungkin bila terjadi krisis besar yang memaksa.

Fakta Baru Krisis Iklim dan Guncangan Paradigma
Krisis iklim kini menghadirkan tantangan serius bagi paradigma lama. Siklus musim yang dulu teratur kini kacau. Kekeringan ekstrem dan banjir bandang kian sering melanda. Sawah yang bergantung pada irigasi tradisional tak lagi bisa diandalkan. Alih fungsi lahan menambah tekanan, sementara populasi Indonesia terus bertambah.
Dalam situasi ini, teori lama ketahanan pangan berbasis monokultur beras diuji habis-habisan. Produksi stagnan, ketahanan pangan rapuh, dan risiko krisis meningkat. Fakta-fakta ini adalah anomali yang tidak bisa dijelaskan oleh paradigma lama. Kuhn akan menyebutnya tanda-tanda perlunya revolusi paradigma. Antitesis muncul: ketahanan pangan tidak boleh bergantung pada satu komoditas. Diversifikasi, adaptasi iklim, dan teknologi cerdas menjadi keniscayaan.

Sintesis, Pertanian Berkelanjutan dan Smart Agriculture
Dari dialektika fakta dan teori, lahirlah sintesis baru berupa gagasan pertanian berkelanjutan dan smart agriculture. Pertanian berkelanjutan menekankan keseimbangan antara produksi dengan daya dukung lingkungan. Ia menolak eksploitasi berlebihan atas tanah, air, dan keanekaragaman hayati. Sementara smart agriculture menawarkan solusi teknologi: sensor tanah, drone pemantau tanaman, big data untuk prediksi iklim, dan sistem irigasi presisi.
Sintesis ini mencoba mengintegrasikan kenyataan lama (kebutuhan beras sebagai pangan utama) dengan antitesis (diversifikasi dan ekologi). Namun sebagaimana dicatat Popper, sintesis tidak pernah menjadi jawaban final. Implementasi smart agriculture menghadapi hambatan: biaya tinggi, keterbatasan literasi digital petani, serta infrastruktur internet di pedesaan yang belum memadai. Fakta-fakta baru ini kembali menantang teori, mendorong lahirnya hipotesis baru: bagaimana agar teknologi canggih bisa disederhanakan, terjangkau, dan sesuai dengan konteks lokal Indonesia?

Ilmu, Dialektika, dan Pangan Nasional
Perjalanan ketahanan pangan Indonesia adalah cermin hidup dari dinamika ilmu pengetahuan. Fakta empiris mendorong lahirnya teori, teori diuji dalam kebijakan, implementasi melahirkan fakta baru, dan fakta baru menantang teori lama. Siklus ini sesuai dengan pola dialektika Hegel (tesis–antitesis–sintesis), falsifikasi Popper, dan paradigma Kuhn.
Dari sisi Hegel, kita bisa melihat bahwa kebijakan pangan Indonesia selalu bergerak dari satu tesis ke tesis berikutnya. Tesis beras sebagai simbol ketahanan memunculkan antitesis berupa gagasan diversifikasi. Keduanya melahirkan sintesis baru seperti beras analog atau smart farming. Namun sintesis itu pun tidak berhenti; ia akan kembali diuji dan mungkin melahirkan kontradiksi baru.
Dari sisi Popper, jelas bahwa kebijakan pangan tidak boleh dianggap final. Setiap teori atau program hanya sah sejauh belum terbantahkan oleh realitas. Diversifikasi gagal? Itu bukan akhir, melainkan koreksi untuk hipotesis berikutnya. Smart farming menemui kendala? Maka lahirlah riset untuk menyesuaikannya dengan kondisi lokal. Ilmu bergerak karena kesediaannya menerima kritik.
Sementara dari perspektif Kuhn, perjalanan pangan Indonesia sedang berada di ambang pergeseran paradigma. Paradigma lama berbasis monokultur beras semakin lemah menghadapi krisis iklim dan dinamika sosial. Anomali menumpuk, dan revolusi paradigma menjadi keniscayaan: menuju sistem pangan yang beragam, adaptif, ekologis, dan berbasis teknologi.
Hegel pernah menulis bahwa “kebenaran adalah keseluruhan” (The truth is the whole). Dalam konteks pangan, kebenaran hanya bisa dicapai bila kita melihat keseluruhan rantai: produksi, distribusi, konsumsi, budaya, ekologi, hingga teknologi. Popper mengingatkan bahwa kebenaran itu bersifat sementara, selalu siap digugat oleh fakta baru. Kuhn menegaskan bahwa terkadang hanya dengan revolusi paradigma kita bisa keluar dari kebuntuan.
Dengan kerangka itu, jelas bahwa ketahanan pangan Indonesia bukanlah proyek jangka pendek, melainkan proses panjang yang terus bergerak. Proses dialektika yang tak pernah berhenti, mengintegrasikan ilmu, kebijakan, budaya, dan ekologi. Dan hanya melalui jalan panjang ini Indonesia bisa keluar dari jebakan ketergantungan tunggal pada beras, menuju sistem pangan yang beragam, sehat, berkelanjutan, dan berdaulat.

Related Posts

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *