Opini
Home » Berita » Swasembada BERAS, Ketika Stok Melimpah Tapi Rakyatnya Menjerit Harga

Swasembada BERAS, Ketika Stok Melimpah Tapi Rakyatnya Menjerit Harga

Oleh : Andreas Araydia

Setiap kali Menteri Pertanian berdiri di depan media untuk mengumumkan keberhasilan produksi beras nasional, publik diundang untuk ikut bangga. “Kita menuju swasembada,” katanya. “Stok nasional aman.” Kata-kata itu selalu manis untuk didengar.

Tetapi siapa pun yang belanja ke pasar belakangan ini tahu rasa getirnya kenyataan. Harga beras melonjak. Pedagang menulis harga baru di papan. Ibu-ibu menahan napas sebelum membayar. Rumah tangga miskin memangkas belanja lauk.
Inilah ironi besar yang terjadi di negeri yang menepuk dada soal stok beras. Negara mengumumkan panen raya, surplus produksi, tapi harga di pasar justru melambung.

Apa gunanya beras menumpuk di gudang kalau rakyat tak mampu membeli?

Pemerintah mungkin bangga dengan stok besar yang diserap oleh Bulog. Tetapi banyak orang lupa beras bukan logam mulia yang bisa disimpan di brankas bertahun-tahun. Ia bahan pangan yang hidup, mudah rusak.
Beras yang disimpan lama akan berkutu, berubah warna, bahkan berbau apek jika kadar airnya tinggi atau sirkulasi udara buruk. Pemeliharaan di gudang memerlukan biaya, perawatan, dan rotasi stok yang baik. Bila gagal, bukan hanya nilai jual turun tapi negara menanggung kerugian. Dan itulah yang sering terjadi.
Bulog membeli beras dalam jumlah besar dengan harga acuan pemerintah. Katanya untuk menolong petani agar harga gabah tidak jatuh. Tapi kemudian Bulog menimbun stok di gudang tanpa strategi pemasaran yang kuat.
Sementara itu, pasar dikuasai pedagang besar dan penggilingan swasta yang lebih lihai, lebih lincah, lebih dekat ke konsumen.

Kita mendengar kabar Bulog kini mencoba memproduksi beras premium. Bagus di atas kertas tapi di mana beras premium Bulog itu dijual?
Saya jarang sekali, bahkan hampir tak pernah, melihat beras premium Bulog di rak supermarket modern. Tidak juga di pasar tradisional.

Kenapa?

Karena Bulog tidak benar-benar menjadi pemain pasar yang kompetitif. Dan tidak punya jaringan distribusi ritel yang kuat. Bulog kalah branding dari merek-merek swasta yang sudah dipercaya konsumen. Dan kalah dalam logistik cepat yang mampu mengalirkan stok ke pasar sebelum kualitas turun.
Bahkan ketika Bulog melakukan operasi pasar, itu sifatnya sporadis. Hanya muncul ketika harga melonjak tinggi. Solusi tambal sulam, bukan strategi berkelanjutan.

Sementara pedagang besar bisa menahan stok di gudang mereka, memainkan pasokan, menunggu harga naik. Mereka bisa mengendalikan jalur distribusi lintas pulau. Mereka punya penggilingan modern dengan susut rendah, kualitas stabil, dan mampu membentuk loyalitas pasar.
Dalam situasi seperti ini, Bulog bukan pemain. Bulog hanya jadi penyangga. Dan sayangnya, penyangga yang tertatih.
Lebih parah lagi, harga pembelian pemerintah (HPP) yang jadi acuan Bulog sering tidak fleksibel. Saat harga pasar naik tinggi, petani malah memilih menjual ke tengkulak atau pedagang swasta. Bulog kehilangan pasokan terbaiknya.
Lalu ketika harga pasar tinggi, Bulog terpaksa menyerap dengan harga tinggi pula, menambah beban anggaran. Stok menumpuk di gudang dengan biaya penyimpanan mahal.
Di sisi lain, penggilingan dan pedagang swasta kesulitan mendapat pasokan gabah. Mereka mengeluh bahwa Bulog “mengambil semua.” Tetapi anehnya, harga beras di pasar tak turun. Bahkan makin melambung.

Kenapa demikian?. Karena distribusi Bulog tidak efisien. Stok tersimpan di gudang tanpa saluran ritel yang kuat. Penyaluran tersendat. Bulog menampung beras, tapi gagal mengalirkan ke pasar secara kompetitif.
Inilah paradoks kebijakan saat ini:

  • Negara menyerap beras besar-besaran untuk jaga stok dan harga petani.
  • Tapi stok itu tidak cepat didistribusikan.
  • Kualitas turun di gudang.
  • Sementara pedagang swasta kekurangan pasokan, mendorong harga naik.
  • Konsumen membayar lebih mahal.
  • Negara menanggung biaya penyimpanan dan risiko kerusakan.

Bukankah ini kegagalan strategi? Tanpa saluran distribusi ritel yang kuat, tanpa penggilingan modern milik negara, tanpa merek yang dipercaya konsumen, semua penyerapan Bulog hanya menghasilkan beban. Negara perlu lebih jujur, Swasembada bukan hanya angka produksi gabah. Itu juga kemampuan mendistribusikan beras sampai ke piring rakyat dengan harga wajar. Jika Bulog ingin membantu, bulog harus mampu bersaing di pasar. Bulog harus mampu menjual. Bukan hanya membeli.

Beras premium Bulog seharusnya ada di supermarket, di minimarket, di pasar tradisional. Kemasannya bersih, kualitasnya konsisten, harganya bersaing. Merek Bulog harus punya reputasi, bukan hanya nama. Gudang Bulog harus dilengkapi pengering dan sistem penyimpanan modern untuk menjaga mutu. Distribusi harus diperbaiki agar cepat, murah, efisien.

Dan pemerintah perlu berhenti membanggakan diri hanya dengan angka produksi atau besarnya stok di gudang. Itu bukan kemenangan kalau harga di pasar membuat rakyat menangis. Karena di setiap piring nasi orang Indonesia, ada pertanyaan mendasar Apakah negara betul-betul hadir?

Jika harga beras melangit padahal gudang penuh, berarti ada yang salah. Jika beras menumpuk tapi rusak, berkutu, berbau, berarti kita hanya membuang anggaran rakyat.Jika Bulog tak mampu menyaingi pedagang swasta dalam distribusi, promosi, dan pelayanan, berarti negara kalah di pasar. Dan kalau negara kalah di pasar pangan, artinya negara kalah dalam memenuhi janji paling dasar pada rakyat: hak untuk makan dengan layak. Swasembada harus kita maknai ulang. Bukan hanya soal panen. Tapi soal sistem pangan yang adil. Sistem yang menyejahterakan petani dan menenangkan hati konsumen. Sistem yang tak memberi ruang pada kartel atau spekulasi. Jika kita gagal memperbaiki rantai distribusi, membenahi penggilingan, memperkuat Bulog sebagai pemain pasar sejati, maka setiap klaim swasembada hanya hiasan kata.Dan rakyat akan terus menjerit di pasar. Sementara beras menumpuk di gudang, rusak perlahan, menjadi monumen kegagalan strategi negara.

Related Posts

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *