Opini
Home » Berita » Pesantren sebagai Ruang Transformasi Sosial

Pesantren sebagai Ruang Transformasi Sosial

Oleh Ainur Rofiq
Pemerhati sosial keagamaan, Mahasiswa Program Doktor Ilmu Lingkungan Universitas Brawijaya

Pesantren bukan sekadar lembaga pendidikan agama, melainkan entitas sosial yang membentuk kesadaran kebangsaan jauh sebelum Indonesia merdeka. Sejak masa kolonial, pesantren telah menjadi pusat perlawanan, tempat tumbuhnya semangat dakwah, ekonomi, dan solidaritas masyarakat bawah. Dalam sejarah panjangnya, pesantren tidak hanya menjadi institusi keagamaan, tetapi juga ruang sosial yang melahirkan etika kerja, gotong royong, serta kesadaran kebangsaan yang mendalam (Hidayat, 2021).
Tulisan ini berargumen bahwa kebijakan tata ruang bagi pesantren perlu dipahami sebagai instrumen transformasi sosial, bukan sekadar urusan administratif. Dalam konteks pembangunan berkelanjutan, kebijakan pertanahan yang berpihak pada lembaga keagamaan seperti pesantren merupakan bagian dari upaya menata ruang sosial agar berkeadilan dan berkelanjutan (Fitria & Setiawan, 2023).
Menurut data Kementerian Agama tahun 2024, terdapat 17.015 pesantren di Indonesia, dan 6.013 di antaranya berada di Jawa Timur. Jumlah santri tercatat lebih dari 1,7 juta jiwa, tersebar di berbagai wilayah dengan karakter sosial yang beragam. Fakta ini memperlihatkan betapa kuatnya peran pesantren dalam menopang kehidupan sosial, spiritual, dan bahkan politik masyarakat (Abdullah & Fathurrahman, 2022).
Pesantren memiliki pengaruh sosial-politik melalui hubungan patronase antara kiai dan santri. Ikatan emosional ini membentuk jaringan sosial yang berpengaruh dalam pengambilan keputusan sosial di tingkat lokal, selaras dengan konsep modal sosial Robert Putnam (1993) dan diperkuat dalam studi Rahman (2021) yang menunjukkan bahwa jaringan pesantren menjadi penopang stabilitas sosial di pedesaan Indonesia.
Namun, di balik pertumbuhan itu terdapat persoalan tata ruang dan legalitas aset pesantren. Banyak pesantren berdiri di atas tanah wakaf yang belum bersertifikat atau tidak memiliki izin sesuai ketentuan. Dalam konteks ini, kebijakan ATR/BPN menjadi relevan melalui program sertifikasi tanah wakaf dan penerapan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (KKPR) sebagaimana diatur dalam PP No. 28 Tahun 2025. Sejalan dengan pandangan Dye (2017) tentang participatory policy, efektivitas kebijakan hanya tercapai jika masyarakat dilibatkan aktif dalam implementasinya (Sulastri & Ramadhan, 2023).

Ruang Sosial dan Nilai Kultural Pesantren
Clifford Geertz (1960) membagi masyarakat Jawa dalam tiga tipologi: santri, priyayi, dan abangan. Meski kini semakin cair, pesantren tetap menjadi pusat nilai moral dan spiritual masyarakat (Hakim, 2020). Dalam konteks modernitas, pesantren menjembatani nilai tradisional dan rasionalitas kehidupan sosial, berperan sebagai ruang kultural yang memelihara etika sosial (Fauzan & Prasetyo, 2022).
Zamakhsyari Dhofier menegaskan bahwa tradisi pesantren bertahan karena adanya genealogi intelektual antara pandangan hidup kiai dan sistem pendidikan. Kiai menjadi otoritas moral dan spiritual, sementara sistem sorogan dan bandongan membentuk etos pengabdian dan kesederhanaan (Murtadho & Yani, 2021).
Lebih jauh, Kuntowijoyo memandang pesantren sebagai agen transformasi sosial melalui ilmu sosial profetik, yang mengintegrasikan iman, ilmu, dan amal sosial. Konsep ini sejalan dengan gagasan sustainable development yang mengaitkan keseimbangan ekonomi, sosial, dan spiritual (Hafid & Anwar, 2023). Penelitian Huda (2022) juga menegaskan bahwa pesantren menjadi laboratorium sosial dalam mendorong pembangunan berbasis nilai keagamaan di tingkat lokal.
Kehadiran kebijakan ATR/BPN dalam tata ruang pesantren merefleksikan rasionalisasi nilai-nilai spiritual dalam ruang publik. Hal ini sejalan dengan konsep spatial justice yang menempatkan ruang sebagai sumber kesejahteraan sosial (Soemarno et al., 2023). Pesantren bahkan berperan dalam mitigasi konflik sosial, seperti yang ditunjukkan di Pesantren Tebuireng dan Gontor, yang menjadi mediator nilai-nilai moral di tengah masyarakat (Rohman & Susanti, 2022).

Kebijakan Pertanahan dan Lintas Sektor
Penerapan PP No. 28 Tahun 2025 membawa arah baru dalam pengelolaan ruang dan tanah di Indonesia. Regulasi ini menegaskan bahwa setiap kegiatan, baik berusaha maupun non-berusaha, wajib memiliki KKPR dan Pertimbangan Teknis Pertanahan. Artinya, lembaga keagamaan seperti pesantren harus memastikan kesesuaian tata ruang dalam pendiriannya.
Kebijakan ini bukan pembatasan, tetapi instrumen untuk menjamin pembangunan yang aman dan berkelanjutan. Melalui data KKPR, pemerintah dapat menyusun perencanaan spasial yang lebih akurat untuk mendukung infrastruktur sosial. Dalam perspektif spatial justice, kebijakan tata ruang yang berpihak pada lembaga sosial keagamaan menjadi bentuk pemerataan akses terhadap ruang publik dan layanan dasar (Wahyudi & Nurlaili, 2023).
Kementerian ATR/BPN juga menjalankan program sertifikasi tanah wakaf untuk menata aset keagamaan nasional. Di Jawa Timur, lebih dari 56.000 bidang tanah wakaf tercatat hingga 2024, 40% di antaranya belum bersertifikat. Kolaborasi lintas sektor antara Kemenag, ATR/BPN, dan pemerintah daerah diperlukan untuk mempercepat legalisasi aset ini (Munawaroh & Ridho, 2022).
Pendekatan partisipatif dapat membuka jalan bagi penguatan ekonomi pesantren melalui pemanfaatan tanah wakaf produktif. Program seperti Bank Wakaf Mikro terbukti memperkuat kemandirian ekonomi berbasis pesantren (Rahmawati et al., 2023). Dengan demikian, pesantren tidak hanya menjadi pusat pendidikan, tetapi juga kekuatan sosial-ekonomi masyarakat (Lubis & Hamid, 2024).

Mitigasi dan Keberlanjutan
Salah satu tantangan besar dalam pembangunan pesantren modern adalah mitigasi risiko lingkungan. Sebagian besar pesantren tumbuh tanpa perencanaan struktur yang sistematis, sehingga menghadapi risiko kebakaran, banjir, atau sanitasi buruk (Suryadi & Maulana, 2023). Negara perlu hadir sebagai fasilitator penguatan kapasitas, bukan pengatur yang membatasi. Pendampingan teknis dalam penyusunan rencana tapak, pelatihan pengelolaan lahan, serta integrasi program wakaf produktif berkelanjutan menjadi langkah konkret menuju pesantren yang mandiri dan tangguh.
Gerakan Green Pesantren yang kini berkembang di berbagai daerah menunjukkan integrasi nilai ekologis dengan spiritualitas Islam (Nugroho & Arifin, 2022). Pendekatan ini tidak hanya menekankan pentingnya pengelolaan lingkungan secara teknis, tetapi juga membangun kesadaran ekologis berbasis nilai keagamaan. Dalam kerangka ini, menjaga alam menjadi bagian dari ibadah; mengelola air, energi, dan sampah bukan sekadar tindakan pragmatis, tetapi perwujudan dari amar ma’ruf nahi munkar dalam dimensi ekologis.
Pendekatan kolaboratif antara pesantren, pemerintah, dan masyarakat menjadi kunci keberhasilan upaya ini. Ketika tata ruang dan keberlanjutan lingkungan dipadukan dengan nilai-nilai sosial pesantren, tercipta sinergi yang memperkuat ketahanan masyarakat. Rahmadani et al. (2023) menunjukkan bahwa pesantren yang mengintegrasikan prinsip keberlanjutan tidak hanya lebih adaptif terhadap perubahan iklim, tetapi juga mampu membangun solidaritas sosial yang lebih kokoh di tingkat lokal.
Refleksi penting dari upaya ini adalah bahwa pembangunan pesantren tidak boleh berhenti pada aspek fisik semata. Ia harus dipahami sebagai proses spiritual yang memulihkan harmoni antara manusia, lingkungan, dan Tuhan. Dalam pandangan ekoteologi Islam, bumi bukanlah objek eksploitasi, melainkan amanah (trusteeship) yang harus dijaga untuk generasi mendatang. Maka, pesantren sebagai pusat moral bangsa memikul tanggung jawab lebih besar untuk menegaskan kembali makna “keberlanjutan” — bukan sekadar pembangunan yang lestari, tetapi peradaban yang beradab terhadap alam.

Menata Ruang, Menjaga Warisan
Pesantren adalah warisan sosial yang hidup, tempat nilai keislaman, kebangsaan, dan kemanusiaan dijaga turun-temurun. Keterlibatan Kementerian ATR/BPN dalam penataan pertanahan di lingkungan pesantren bukanlah intervensi negara, tetapi tanggung jawab kebangsaan untuk menjaga kesinambungan ruang sosial yang telah berabad-abad menjadi sumber moral bangsa (Prakoso & Dewi, 2021).
Kebijakan lintas sektor antara ATR/BPN, Kemenag, dan pemerintah daerah akan bermakna jika berpijak pada pemahaman historis bahwa pesantren adalah bagian integral dari tubuh bangsa. Dalam bahasa Kuntowijoyo, pesantren adalah laboratorium kehidupan tempat iman, ilmu, dan amal sosial bertemu untuk membangun peradaban (Huda, 2022).
Dengan demikian, kebijakan pertanahan yang berpihak pada pesantren bukan hanya menjaga aset fisik, tetapi juga meneguhkan identitas spiritual bangsa di tengah arus modernisasi yang cepat. Pesantren harus dilihat sebagai mitra strategis negara dalam membangun tata ruang yang berkeadilan, berkelanjutan, dan berakar pada nilai spiritualitas keislaman.

Daftar Pustaka
Abdullah, R., & Fathurrahman, M. (2022). The role of pesantren in maintaining community resilience. Journal of Islamic Education Studies, 14(2), 211–228.
Fauzan, M., & Prasetyo, D. (2022). Pesantren and cultural continuity in modern Indonesia. Al-Turats: Journal of Islamic Civilization, 9(1), 45–60.
Fitria, L., & Setiawan, A. (2023). Religious institutions and spatial justice: Rethinking land use policies in Indonesia. Journal of Urban Policy and Development, 18(3), 155–170.
Hafid, R., & Anwar, M. (2023). Prophetic social science and sustainable development: The pesantren perspective. Jurnal Ilmu Sosial Profetik, 7(1), 33–47.
Hakim, F. (2020). Revisiting Geertz’s typology in contemporary pesantren society. Studia Islamika, 27(3), 521–540.
Hidayat, A. (2021). Pesantren as agents of social transformation in Indonesia. Indonesian Journal of Islamic Studies, 29(4), 603–618.
Huda, N. (2022). Pesantren as local governance in Islamic education and social change. Al-Jami‘ah: Journal of Islamic Studies, 60(1), 89–112.
Lubis, M., & Hamid, R. (2024). Economic empowerment through pesantren-based microfinance. Islamic Economics Review, 5(2), 101–120.
Munawaroh, L., & Ridho, M. (2022). Land certification and religious endowment management in East Java. Jurnal Agraria dan Kebijakan Ruang, 12(1), 77–93.
Nugroho, A., & Arifin, Z. (2022). Green pesantren: Integrating Islamic education and ecological ethics. Jurnal Pendidikan Islam Berkelanjutan, 3(2), 145–159.
Prakoso, D., & Dewi, L. (2021). Historical continuity of pesantren in Indonesian spatial policy. Journal of Islamic History and Society, 11(4), 250–267.
Rahmadani, F., Kusuma, T., & Sari, R. (2023). Environmental management and sustainability practices in Indonesian pesantren. Environment and Urbanization Asia, 14(2), 122–138.
Rahman, Y. (2021). Social capital and pesantren networks in rural Indonesia. Southeast Asian Sociology Journal, 15(2), 88–104.
Rahmawati, N., Hasanah, I., & Yusuf, A. (2023). Waqf-based economy and pesantren empowerment in Indonesia. Journal of Islamic Philanthropy, 8(3), 59–76.
Sulastri, H., & Ramadhan, T. (2023). Participatory governance and religious institutions in land policy. Public Policy Journal of Indonesia, 6(2), 200–218.
Suryadi, B., & Maulana, E. (2023). Risk mitigation in Islamic boarding schools: Challenges of infrastructure planning. Journal of Environmental Safety and Religion, 4(1), 33–49.
Wahyudi, S., & Nurlaili, I. (2023). Spatial justice and inclusive urban planning in Indonesia. Journal of Regional and City Planning, 34(1), 15–30.

Related Posts

Latest Posts

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *